Selasa, 01 Desember 2015

Banyak Mengaku Ahli Sunnah Waljama'ah, Siapa yang Benar ?

Ahlu sunah wal jamaah (Aswaja) merupakan istilah bagi golongan yang senantiasa berada pada jalan salafusholeh, berpegang teguh dengan al-Quran, sunah dan atsar yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW serta para sahabatnya ra. Istilah ini digunakan untuk membedakannya dengan para pengikut bidah dan hawa nafsu.

Ulama terdahulu telah sepakat apabila disebut ahlu sunah maka yang dimaksud adalah Asyairoh (pengikut jalan Imam Abul Hasan al-Asyari) serta aliran lain yang sejalan yakni Maturidiyah dan Atsariyah (pengikut hadits). Rasulullah SAW menyebutkan bahwa kelak Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya tersesat kecuali satu golongan yang selamat, mereka adalah mayoritas umat Islam. Sifat ini hanya sesuai dengan Aswaja. Merekalah mayoritas umat Islam yang dinafikan sesatnya melalui hadits terkenal, “Umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan.”

Al Ijiy dalam kitab Mawaqif -setelah menyebut golongan-golongan yang sesat- menjelaskan bahwa golongan selamat adalah yang disabdakan Nabi SAW, “Mereka adalah orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku”(HR.Turmudzi). Yaitu golongan Asyairoh dan para salaf dari ahli hadits dan ahlu sunah wal jamaah. Madzhab mereka disebut kosong dari berbagai bidah.

Sedangkan Tajudin As-Subki sebagaimana dinukil dalam kitab Ithafus Sadah menyebut bahwa seluruh pengikut Aswaja memiliki keyakinan yang sama namun metode memahami yang berbeda. Di sana ada metode ahlu hadits (atsariyah), metode nadzor (pikir) dan logika yang diwakili Asyairoh dan Maturidiyah, dan metode penyingkapan melalui ilham yang diwakili sufiyah. Pada tahap awal para sufi menggunakan dua metode pertama, namun di puncaknya perjalanannya mereka mendapatkan penyingkapan melalui ilham.

Pada dasarnya pengambilan dasar Asyairoh dan Maturidiyah pun berasal dari hadits shahih, maka tidak heran jika nama Ahlu sunah disebut maka keduanyalah yang dimaksud. Syaikh Murtadho al-Zubaidi dalam kitabnya Ithafusadah mengatakan dengan tegas,“Jika disebut ahlu sunah maka yang dimaksud adalah Asyairoh dan Maturidiyah.” Tak jauh berbeda perkataan Ibnu Abidin al-Hanafi dalam Radul Mukhtar, “Ahlu Sunah wal Jamaah adalah Asyairoh dan Maturidiyah.”

Pada kesempatan kali ini kita hanya akan membahas sekelumit tentang Asyairoh, golongan yang dikatakan oleh Habib Abdullah al-Hadad dalam bait syairnya: “ Jadilah seorang Asyari dalam akidahmu sebab itulah  jalan yang bersih dari kesesatan dan kekufuran”

Al-Faqih Abdullah al-Aidrus Akbar dalam kitab Kibritul Ahmar pun mengatakan,” Itiqod kami adalah Asyari dan madzhab kami adalah Syafii sesuai dengan ketentuan Al-Quran dan Sunah.”
Asya'iroh

Sebutan Asyairoh diperuntukan bagi mereka yang mengikuti jalan Abul Hasan Asyari ¾seorang keturunan sahabat mulia Abu Musa al-Asyari¾dalam masalah akidah. Mengikuti disini bukan dalam artian taklid yakni mengikuti tanpa mengetahui dalil, sebab taklid dalam masalah akidah adalah terlarang. Namun mengikuti dalam artian menapaki petunjuknya dan dalil-dalil yang dibawakannya.

Imam Ali bin Ismail al-Asyari lahir pada tahun 260 H, pada mulanya beliau menganut faham Muktazilah dalam asuhan Ajuba’i selama 40 tahun dan sempat menjadi tokoh penting madzhab tersebut. Beliau mendapati banyak kerancuan dalam akidah Muktazilah, berdialog dengan para gurunya namun tidak mendapatkan jawaban memuaskan. Begitulah keadaannya sampai Allah menunjukan jalan kebenaran. Setelah itu, ia keluar menuju masjid jami, menaiki mimbar dan mengumumkan taubatnya dari faham Muktazilah menuju faham para salaf dan sahabat yang kelak dikenal dengan Ahlu Sunah wal Jamaah.

Ibnu Khalikan dalam Wafiyatul A`yan mengatakan, “Abul Hasan mulanya menganut  Muktazilah kemudian taubat dari pendapat seputar sifat Adil dan bahwa al-Quran adalah makhluk di masjid jami Bashroh pada hari Jumat.”Senada dengan itu yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala.

Para ulama mengatakan bahwa ahlul bidah sebelum munculnya Imam Abu Hasan al-Asyari berani menegakan kepala namun setelah beliau nampak mereka bersembunyi.

Pada dasarnya Abul Hasan Al-Asyari tidak membuat akidah baru, beliau hanya menegakan bendera bagi jalan para salaf sehingga bisa terlihat dan diikuti setelah sekian lama jalan itu samar tertutup golongan-golongan ahlul bidah terutama Muktazilah yang didukung oleh penguasa kala itu.

Al-Hafidz Abu Bakar al-Baihaqi menyatakan, “Beliau (al-Asyari) tidak membuat hal baru maupun bidah dalam agama Allah. Beliau hanya mengambil pendapat-pendapat para sahabat dan tabiin serta para imam setelahnya dalam masalah ushuludin (akidah) kemudian menguatkan pendapat-pendapat ini dengan penjelasan dan penerangan.”

Imam Murtadho az-Zubaidi dalam Ithafus Sadah juga mengatakan hal serupa, “Ketahuilah bahwa keduanya, yaitu Imam Abu Hasan dan Abi Mansur Al-Maturidi tidak membuat pemikiran baru atau madzhab baru. Mereka hanya menetapkan madzhab salaf dan mendukung apa yang dilakukan sahabat Rasulullah SAW. Keduanya menyanggah ahlu bidah sampai terputus dan berpaling kalah.”

Inilah pula yang dikatakan oleh, Asubki dalam Thobaqot-nya, Ibnu Asakir dalam Tanbih KidzB al Muftari dan ulama lainya. Mereka menyatakan dengan tegas bahwa ajaran Asyari bukan ajaran baru, beliau hanya menyusun dan merumuskan ulang paham akidah salaf secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Ahlu Sunah. Maka tidak berlebihan jika Al-Baihaqi menyatakan bahwa jalan Al-Asyari adalah jalan para salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, dan bahkan Imam Bukhari dan Muslim.

Imam Asyari dan murid-muridnya dengan tekun mendakwahkan ajaran salaf tersebut dan memberantas bidah sampai ke akar-akarnya. Karena murninya ajaran ini maka bukan hal yang mengherankan apabila hampir semua ulama dan imam rujukan yang hidup setelah beliau menisbatkan diri sebagai pengikut ajarannya atau ajaran yang sesuai dengannya yakni Maturidi. Tidak ada satu fan ilmu syariat pun yang tokohnya bukan Asyari atau Maturidi. Dalam ilmu Tafsir terdapat al-Qurtubi, Ibnu Katsir, Ibnu Athiyah, Abu Hayan, ar-Razi, al-Baghawi, as-Samarqandi, an-Naisaburi, al-Alusi, al-Halabi, asy-Suyuthi, Khatib Syarbini dan lainnya.

Dalam ilmu hadits terdapat ad-Daruqutni, Abu Nuaim, al-Hakim, Ibnu Hiban, al-Baihaqi, Ibnu Asakir, al-Baghdadi, An-Nawawi, Ibn Sholah, al-Kirmani, al-Mundziri, al-Ubi, Ibnu Hajar al-Atsqalani, as-sakhowi, As-Suyuthi, al-Qastalani, al-Munawi dan lainnya. Imam Tajudin as-Subki dalam Thobaqot Kubro pernah berseloroh,” Dan itu (Asyairoh) adalah madzhab ahli hadits sejak masa lampau sampai sekarang.”

Hampir seluruh ulama madzhab yang empat menganut Asyairah. Imam Izudin bin Abdis Salam pernah mengatakan, “Akidah Asyari adalah akidah yang berkumpul di dalamnya para pengikut Syafiiyah, Malikiyah, Hanafiyah dan tokoh-tokoh utama dalam Hanabilah.”

Begitulah pula dalam ilmu lughoh, nahwu, bahasa arab, sejarah, dan semua ilmu syariat lain. Mayoritas tokoh rujukan dalam ilmu-ilmu tersebut adalah Aswaja penganut Asyairoh atau Maturidiyah. Betapa benar apa yang dikatakan oleh al Habib Abdullah bin Alwi al Hadad dalam kitab Nailul Marom:

“”Ketahuilah bahwa madzhab Asyari dalam akidah adalah madzhab yang dianut oleh mayoritas umat Islam, baik ulamanya maupun orang umumnya. Karena yang bernisbat kepadanya dan menapaki jalannya adalah para imam yang ahli dalam seluruh fan ilmu sepanjang masa. Mereka adalah para imam dalam ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu qiroah, ilmu fiqih, Ushul fiqih, hadits, dan fan-fannya, tasawuf, bahasa dan sejarah.”

Asya'iroh Masa Kini

Pada masa ini banyak yang mengaku sebagai Aswaja namun jika diteliti ternyata ajaran mereka sangat bertolak belakang dengan ajaran salaf. Mereka mengaku Ahlu sunah, namun justru mencela bahkan menganggap Asyairoh sebagai madzhab yang sesat. Padahal para ulama sejak dahulu mengatakan apabila disebut ahlu sunah maka yang dimaksud adalah Asyairoh dan Maturidi.

Salah satu tokoh golongan menyimpang ini, Sholeh Fauzan mengatakan dalam kitabnya al-Irsyad, “Yang mengingkari hal ini (sifat Allah) hanya ahlu bid`ah yaitu Jahmiyah, Muktazilah dan Asyairoh yang sejalan dengan orang-orang musyrik Quraisy yang tidak mempercayai Ar Rahman dan mengingkari nama-nama Allah.”
Tuduhan ini dangkal dan tak perlu dibantah sebab justru Asyairohlah yang dahulu menyanggah para ahlu bidah penentang sifat yakni Muktazilah. Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa mengatakan :

“Tiada keraguan bahwa pendapat Ibnu Kulab dan Asyari serta kaum yang sejalan dan menetapkan sifat berbeda dengan pendapat Jahmiyah dan Muktazilah. Justru mereka memiliki tulisan-tulisan dalam menentang Jahmiyah dan Muktazilah serta menjelaskan kesesatan penentang sifat,terkadang mereka mengkafirkan dan terkadang hanya menyesatkan.”

Jadi tuduhan bahwa Asyairoh adalah golongan penentang sifat adalah tuduhan tidak berdasar. Golongan Asyairohlah yang giat menetapkan sifat sama` (Maha Mendengar), Bashor (Maha Melihat) dan sifat Allah lain yang dinafikan oleh aliran Muktazilah.

Sebenarnya alasan mereka menuduh Asyairoh sebagai golongan penentang sifat adalah karena Asyairoh menolak untuk menisbatkan makna dari sifat-sifat yang tidak layak bagi Allah SWT Sedangkan mereka justru menisbatkan sifat-sifat itu kepada Allah SWT.

Di dalam al-Quran dan Hadits banyak disebut bahwa Allah berada di atas Arsy, turun ke bumi, tertawa atau menisbatkan tangan, wajah kepada Allah SWT. Ayat dan hadits tersebut di kalangan ulama dikatakan sebagai ayat atau hadits mutasyabih atau ayat sifat yang jika difahami secara luarnya saja akan menjerumuskan kepada tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).

Dalam memahami ayat dan hadits yang demikian, mereka yang tersesat menolak untuk mentakwil (memalingkan makna) dan memilih untuk menetapkan makna lafadz dzohirnya. Sehingga mereka mengatakan dzat Allah benar-benar berada di atas, dzat Allah benar-benar turun, Allah benar-benar memiliki tangan dalam arti sebenarnya, dan lainnya. Ini adalah pemahaman yang sangat keliru dan sesat. Sebab seluruh ulama sepakat bahwa Allah tidak dibatasi oleh tempat dan arah serta bukan berupa tubuh seperti makhuk-Nya. Dalam al-Quaran disebutkan :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ [الشورى: 11

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat”. (QS asy-Asuara: 11)

Dalam menanggapi ayat tersebut para salaf terbagi menjadi dua golongan. Satu golongan menyerahkan sepenuhnya makna kepada Allah setelah mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk. Mereka percaya itu adalah firman Allah namun tidak tahu apa maknanya dan tidak membahasnya. Inilah golongan tafwidh, golongan mayoritas ulama salaf. golongan kedua mentakwil, memalingkan makna kepada makna majasnya yang sesuai dengan keagungan Allah, misalnya hadits mengenai Allah turun ke bumi diartikan bahwa yang turun adalah nikmatnya, Allah beristiwa di atas arsy maksudnya Allah menguasai Arsy, tangan diartikan kekuasaan, wajah diartikan dzat dan seterusnya. Ini dinamakan golongan ahli takwil. Kedua golongan ini adalah sama benar.

Imam Zarkarsyi dalam kitabnya Al Burhan fi Ulumil Quran menyatakan,

“Manusia berselisih mengenai mutasyabihat yang berada dalam ayat dan hadits ke dalam tiga golongan,

1. Tidak ada jalan untuk takwil, ayat itu harus difahami secara dzohir dan tidak ditakwil sedikit pun. Merekalah golongan musyabihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk)

2. Ayat ini memiliki takwil (arti), namun kami tidak menakwilinya dan kami mensucikan Allah dari keserupaan. Kami mengatakan, “Tidak ada yang mengetahui maknanya kecuali Allah.” Ini perkataan salaf

3. Ayat itu ditakwil dan mereka mentakwilnya dengan apa yang layak untuk Allah.

Yang pertama adalah keliru dan yang kedua dan ketiga dinukilkan dari para sahabat.”

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim ketika mengomentari salah satu dari hadits tentang sifat mengatakan, “Ini adalah hadits mengenai sifat. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal di kalangan ulama. Pertama adalah madzhab salaf (tafwidh) dan kedua (takwil) adalah madzhab mayoritas ahli kalam dan sekelompok ulama salaf, telah diceritakan dari Imam Malik dan Auzai bahwa keduanya mentakwil sesuai dengan yang layak dengan-Nya.”

Mayoritas Asyairoh memperbolehkan dua faham tersebut (tafwidh dan takwil) dalam memahami ayat mutasyabihat. Dan memang inilah faham seluruh ulama ahlu sunah. Ibnu Hajar al-Atsqolani menukilkan perkataan Ibnu Daqiil Id,“Yang mensucikan Allah itu ada dua. Golongan yang diam dan tidak mentakwil dan golongan yang mentakwil.”
Jadi justru mereka yang mengartikan ayat mutasyabih secara dzohir adalah aliran yang salah.

Maka, pada masa ini kita harus lebih berhati-hati dalam masalah akidah, ikutilah akidah yang benar yakni akidah para salaf dan sahabat yang sudah dibuktikan kebenarannya oleh para ulama rujukan. Mereka adalah Asyairoh dan Maturidiyah.


Kebenaran Aqidah Aswaja Asy'ariyah Didalam Al-Maidah Ayat 54

Banyak sekali bukti-bukti tekstual, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits, memberikan isyarat akan kebenaran akidah Asy’ariyyah sebagai akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Oleh karena sangat banyak, maka kita tidak hendak mengutip semuanya, namun paling tidak beberapa yang akan kita sebutkan di bawah ini adalah sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang memegang teguh akidah Asy’ariyyah bahwa mereka berada di dalam kebenaran.

Dalam al-Qur’an Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ (المائدة: 54

“Wahai sekalian orang beriman barang siapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka kaum yang berjihad dijalan Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci-maki”. QS. al-Ma’idah: 54

Dalam sebuah hadits Shahih diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, Rasulullah memberitahukan sambil menepuk pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya bersabda: “Mereka (kaum tersebut) adalah kaum orang ini!”.

Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji Allah dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah. Karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Penafsiran ayat di atas bahwa kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah tersebut adalah kaum Asy’ariyyah, telah dinyatakan pula oleh para ulama terkemuka dari para ahli hadits lainnya, selain al-Hafizh Ibn ‘Asakir. Namun, lebih dari cukup bagi kita bahwa hal itu telah dinyatakan oleh al-Imam al-Hafizh Ibn ‘Asakir dalam kitab Tabyin Kadzib al-Muftari. Beliau adalah seorang ahli hadits terkemuka (Afdlal al-Muhaditsin) di seluruh daratan Syam (sekarang Siria, Palestina, Lebanon, Yordania) pada masanya.

Al-Imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah menuliskan:
Dalam penafsiran firman Allah di atas: (Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah) QS. Al-Ma’idah: 54, al-Imam Mujahid, murid sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas, berkata : “Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”.

Kemudian al-Hafizh Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari menambahkan : “Dan orang-orang Asy’ariyyah adalah kaum berasal dari negeri Saba’” (Tabyin Kadzib al-Muftari Fi Ma Nusiba Ila al-Imam Abi al-Hasan al-Asy’ari, h. 51).

“Ibn ‘Asakir adalah termasuk orang-orang pilihan dari umat ini, baik dalam ilmunya, agamanya, maupun dalam hafalannya. Setelah al-Imam ad-Daraquthni tidak ada lagi orang yang sangat kuat dalam hafalan selain Ibn ‘Asakir. Semua orang sepakat akan hal ini, baik mereka yang sejalan dengan Ibn ‘Asakir sendiri, atau mereka yang memusuhinya” (Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 364).

Lebih dari pada itu, al-Hafizh Ibn ‘Asakir sendiri dalam kitab Tabyin tersebut telah mengutip pernyataan para ulama hadits terkemuka (huffazh al-hadits) sebelumnya yang telah menafsirkan ayat tersebut demikian. Di antaranya adalah seorang ahli hadits terkemuka yang merupakan pimpinan mereka; al-Imam al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi, penulis kitab Sunan al-Baihaqi.

Al-Hafizh Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari menuliskan pernyataan al-Imam al-Baihaqi dengan sanad-nya dari Yahya ibn Fadlillah al-‘Umari, dari Makky ibn ‘Allan, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hafizh Abu al-Qasim ad-Damasyqi, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Syaikh Abu ‘Abdillah Muhammad ibn al-Fadl al-Furawy, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hafizh Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Ali al-Baihaqi, berkata :

“Sesungguhnya sebagian para Imam kaum Asy’ariyyah, --Semoga Allah merahmati mereka--, memberikan pelajaran kepada kami tentang sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Iyadl al-Asy’ari, bahwa ketika turun firman Allah: (Fa Saufa Ya’tillahu Bi Qaumin Yuhibbuhum Wa Yuhibbunahu...) QS. Al-Ma’idah: 54, Rasulullah berisyarat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata: “Mereka adalah kaum orang ini”.

Bahwa dalam hadits ini terdapat isyarat akan keutamaan, keagungan dan derajat kemuliaan bagi al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Karena tidak lain beliau adalah berasal dari kaum dan keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Mereka adalah kaum yang diberi karunia ilmu dan pemahaman yang benar. Lebih khusus lagi mereka adalah kaum yang memiliki kekuatan dalam membela sunnah-sunnah Rasulullah dan memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka memiliki dalil-dalil yang kuat dalam memerangi bebagai kebatilan dan kesesatan. Dengan demikian, pujian dalam ayat di atas terhadap kaum Asy’ariyyah bahwa mereka kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah, adalah karena telah terbukti bahwa akidah yang mereka yakini sebagai akidah yang hak, dan bahwa ajaran agama yang mereka bawa sebagai ajaran yang benar, serta terbukti bahwa mereka adalah kaum yang memiliki kayakinan yang sangat kuat. Maka siapapun yang di dalam akidah mengikuti ajaran-ajaran mereka, artinya dalam konsep keyakinan meniadakan keserupaan bagi Allah dengan segala makhluk-Nya, dan dalam metode memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dan sejalan dengan faham-faham Asy’ariyyah maka ia berarti termasuk dari golongan mereka” (Tabyin Kadzib al-Mufari, h. 49-50. Tulisan al-Hafizh Ibn ‘Asakir ini dikutip pula oleh Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 362-363).

Al-Imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra mengomentari pernyataan al-Imam al-Baihaqi di atas, beliau berkata sebagai berikut :
“Kita katakan; -tanpa kita memastikan bahwa ini maksud Rasulullah-, bahwa ketika Rasulullah memukul punggung sahabat Abu Musa al-Asy’ari, sebagaimana dalam hadits di atas, seakan beliau sudah mengisyaratkan adanya kabar gembira bahwa kelak akan lahir dari keturunannya yang ke sembilan yaitu al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Sesungguhnya Rasulullah itu dalam setiap ucapannya terdapat berbagai isyarat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang mendapat karunia petunjuk Allah. Dan mereka itu adalah orang yang kuat dalam ilmu (ar-Rasikhun Fi al-‘Ilm) dan memiliki mata hati yang cerah. Firman Allah: (Seorang yang oleh Allah tidak dijadikan petunjuk baginya, maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan petunjuk) QS. An-Nur: 40” (Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 363).

Al Hamdulillah, Allah telah mengarunikan iman dan tauhid yang suci ini kepada kita dengan mengenal Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah di atas jalan al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari.

Ust. Kholilurrahman, Lc



Kriteria Ahlussunnah wal Jamaah Agar Tak Salah Jalan

Kriteria Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Aswaja) sebagaimana yang telah diterangkan oleh Imam Ghazali dalam kitab beliau Ihya Ulumuddin dan kitab lainnya adalah:

A. Tentang Ketuhanan:

  1. Meyakini bahwa Allah adalah tuhan yang Esa/ Tunggal yang berhak disembah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya yang tiada sama dengan makhluk-Nya.
  2. Zat Allah dapat dilihat dan orang-orang mukmin akan melihat-Nya dalam surga kelak.
  3. Segala sesuatu yang terjadi merupakan atas kehendak-Nya namun pada makhluk terdapat ikhtiyari.
  4. Menolak faham Tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhluk.
  5. Menolak faham Jabariyah (segala sesuatu atas kehendak Allah tanpa ikhtiayri dari makhluk).
  6. Menolak faham Qadariyah (segala sesuatu atas kehendak makhluk tanpa taqdir dari Allah).

B. Tentang Malaikat:

  1. Malaikat itu ada dan jumlahnya tidak terhingga. Setiap malaikat memiliki tugasnya masing-masing, mereka selalu taat kepada perintah Allah.
  2. Ummat Islam hanya diwajibkan mengetahui sepuluh nama malaikat yang utama yang mempunyai tugasnya masing-masing.
  3. Sehubungan dengan keimanan tentang adanya malaikat, ummat Islam juga diwajibkan meyakini adanya jin dan iblis

C. Tentang Kerasulan:

  1. Meyakini bahwa semua Rasul adalah utusan-Nya yang diberikan mu`jizat kepada mereka sebagai tanda kebenaran mereka.
  2. Rasulullah Shollallohu 'Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam penutup segala Nabi dan Rasul yang diutus kepada bangsa Arab dan bangsa lainnya, kepada manusia dan jin, dan semua makhluk Allah.
  3. Mencintai seluruh shahabat Rasulullah.
  4. Meyakini bahwa shahabat yang paling mulia adalah Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian Sayidina Umar kemudian Saiydina Utsman kemudian Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘Anhum.
  5. Menghindari membicarakan masalah permusuhan sesama sahabat kecuali untuk menerangkan kebenaran dan bagaimana kaum muslimin menyikapinya.
  6. Meyakini Ibunda dan Ayahanda Rasulullah masuk surga berdasarkan firman Allah QS. Al-Isra’ ayat 15 :

(وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا (الإسراء : ١٥

"Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra` : 15)
Kedua orang tua Nabi wafat pada zaman fatharah (kekosongan dari seorang Nabi/ Rasul). Berarti keduanya dinyatakan selamat. Imam Fakhrurrozi menyatakan bahwa semua orangtua para Nabi muslim. Dengan dasar Al-Qur’an surat As-Syu’ara’ : 218-219 :

الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ * وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

"Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud".
Sebagian Ulama’ menafsiri ayat di atas bahwa cahaya Nabi berpindah dari orang yang ahli sujud (muslim) ke orang yang ahli sujud lainnya. Adapun Azar yang secara jelas mati kafir, sebagian ulama’ menyatakan bukanlah bapak Nabi Ibrahim yang sebenarnya tetapi dia adalah bapak asuhnya dan juga pamannya.
Jelas sekali Rasulullah menyatakan bahwa kakek dan nenek moyang beliau adalah orang-orang yang suci bukan orang-orang musyrik karena mereka dinyatakan najis dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam At Taubah ayat 28 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”

D. Tentang Kitab:

  1. Al Quran, Taurat, Injil, Zabur adalah kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai pedoman bagi ummat.
  2. Al Quran adalah kalam Allah dan bukan makhluk dan bukan sifat bagi makhluk.
  3. Tentang ayat mutasyabihat, dalam Ahlussunnah ada dua pandangan para ulama: - Ulama salaf (ulama yang hidup pada masa sebelum 500 tahun hijryah) lebih memilih tafwidh (menyerahkan kepada Allah) setelah Takwil Ijmali (umum/ global) atau dikenal juga dengan istilah tafwidh ma’a tanzih yaitu memalingkan lafadz dari arti dzahirnya setelah itu menyerahkan maksud dari kalimat itu kepada Allah. - Ulama khalaf (Ulama pada masa setelah 500 Hijriyah) lebih memilih ta`wil yaitu menghamal arti kalimat dengan sebalik arti dzahirnya dengan menyatakan dan menentukan arti yang dimaksudkan dari kalimat tersebut.
  4. Dalam menentukan langkahnya, Ulama Salaf dan Ulama Khalaf sama-sama berpegang pada surat: Ali Imran ayat 7 :

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-quran) kepada kamu, di antara (isi) nya ada ayat-ayat muhkamat (jelas maksudnya) itulah pokok-pokok isi al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (tidak difahami maksudnya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, spt kaum mujassimah ( menjisimkan Dzat Allah dr kalangan wahabi ) maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah (karena mereka tidak menyadari telah terjerumus dalam ayat mutasyabihat) dan untuk mencari-cari penafsirannya, dan akhirnya pun mereka sesat dan menyesatkan.”

E. Tentang Kiamat :

  1. Kiamat pasti terjadi, tiada keraguan sedikit pun.
  2. Meyakini adanya azab kubur.
  3. Kebangkitan adalah hal yang pasti.
  4. Surga adalah satu tempat yang disediakan untuk hamba yang dicintai-Nya.
  5. Neraka disediakan untuk orang-orang yang ingkar kepada-Nya.
  6. Meyakini adanya hisab (hari perhitungan amalan).
  7. Meyakini adanya tempat pemberhentian hamba setelah bangkit dari kubur.
  8. Meyakini adanya Syafaat Rasulullah, ulama, syuhada dan orang-orang mukmin lainnya menurut kadar masing-masing. F. Kewajiban ta`at kepada-Nya terhadap hamba-Nya adalah diketahui melalui lisan Rasul-Nya bukan melalui akal.

G. Tidak mengatakan seseorang ahli tauhid dan beriman telah pasti masuk surga atau neraka kecuali orang-orang yang telah mendapat pengakuan dari Rasulullah bahwa ia masuk surga.

H. Meyakini bahwa shadaqah dan doa kepada orang mati bermanfaat dan Allah memberi manfaat kepada mayat dengan shadaqah dan doa tersebut.

I. Meyakini adanya karamah orang-orang shaleh.

J. Tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat dengan sebab dosa yang mereka lakukan seperti zina, mencuri, minum khamar dll.

K. Masalah sifat dua puluh. Para ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah sebenarnya tidak membataskan sifat-sifat kesempurnaan Allah hanya kepada 20 sifat saja. Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah pasti Allah wajib memiliki sekian sifat tersebut, sehingga sifat-sifat kamalat (kesempurnaan dan keagungan) Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada sembilan puluh sembilan saja.

Oleh: Sayyidil Habib Alwi bin Ali Al Habsyi, Pengasuh Ma’had Darul Ilmi wad Da’wah Al Hidayah Surakarta.

Sumber : Ngaji Yuk!